Jumat, 12 Februari 2016

Guru yang Mengajarkan Realita

Saya sangat bersyukur karena pada saat bersekolah mendapati beberapa guru yang mampu menginspirasi. Di buku "Pemimpin Cinta" Anda bisa temukan kisah tentang guru SD saya yang bernama Pak Iskandar, lalu di SMP adalah Pak Suwarno, lalu ketika SMA Pak Siswanto. Mereka adalah para guru cinta. Dalam buku "Sekolah Cinta" saya juga akan mengangkat nama guru yang lantaran tindakan cintanya sangat menginpirasi saya.

Di SMA Negeri 2 Slawi, dulu untuk mata pelajaran Ekonomi saya diajar oleh Ibu Nunik. Postur tubuh beliau tinggi semampai dan cantik. Beliau senang pakai pakaian batik, tetapi keindahan dirinya tetap muncul meskipun dibalut dengan kostum produk dalam negeri itu. Tutur katanya lembut dan seingat saya sepanjang beliau mengajar tak pernah marah. Kalau ada siswa yang melakukan kesalahan beliau tak menegur di tempat, tetapi akan me
manggilnya ke tempat beliau. Dan saat siapa pun yang melakukan kesalahan sudah berada di hadapan beliau, langsung diminta duduk di kursi yang telah di siapkan di sampingnya. Ya, di sampingnya bukan di hadapannya.

Rupanya berdialog dengan siswa yang melakukan kesalahan dengan teknik ini sangat efektif. He he … saya pernah juga beberapa kali diundang beliau untuk duduk di sampingnya. Pernah satu saat ketika saya lupa membawa buku tulis, saat saya tidak mengerjakan tugas, saat saya mengerjakan tugas mata pelajaran lain di saat jam pelajaran yang sedang diajarkan beliau.

Yang beliau lakuan pertama kali sebelum berdialog pasti menawarkan permen di toples yang teronggok di mejanya. Ha ha … saya kadang mengambil tidak hanya satu tapi beberapa, satu saya makan di tempat dan beberapa lagi saya minta izin mengantonginya. Saya selalu ingat, beliau kalau sudah melihat kelakuan saya yang satu ini pasti mengembangkan senyumnya yang indah, bukan senyuman mengintimidasi seorang guru terhadap siswanya yang telah melakukan kesalahan.

“Kamu katanya bercita-cita mau masuk AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) setelah lulus SMA?” tanya beliau saat pertama kali saya diminta duduk di kuri samping kanannya. Setelah saya mengiyakan beliau minta saya menguraikan apa saja yang menjadi persyaratan bisa masuk AKABRI. Tentu saya meneyebut banyak hal yang ideal, termasuk tentang kedisiplinan dan kerja keras.

Beliau menanyakan alasan mengapa saya berkeinginan masuk AKABRI. Juga pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan AKABRI. Nah, di setiap dialog dengan beliau saya tidak pernah ditegur sama sekali tentang kesalahan saya. Beliau justru selalu mengakhirinya dengan doa sambil menyentuh bahu atau menepuk-nepuk bahu kiri saya. “Semoga kamu lulus dengan nilai yang bagus dan memenuhi persyartan masuk AKABRI. Amin”.

Hanya itu yang beliau lakukan, tetapi saya merasa kepala saya seperti payung parasut yang dikembangkan begitu rupa sehingga saya mendapatkan sebuah kesadaran yang hakikat. Barangkali akan berbeda penerimaan saya kalau beliau saat memanggil saya lalu tidak pernah menyuruh saya duduk di kursi. Bayangkan kalau saya hanya diminta berdiri di depan mejanya sementara beliau duduk sambil melototkan matanya.

Bayangkan kalau beliau tidak menawari saya permen, tetapi langsung fokus membrondong saya dengan informasi kesalahan yang saya lakukan. Lalu bayangkan seandainya beliau tidak berbicara dengan kelembutan yang dimilikinya. Kemudian beliau malah mengatakan kalimat-kalimat yang berbau ancaman, misal “Nilaimu saya kurangi! Awas kalau macam-macam lagi dengan saya!” dan bentuk ancaman yang lainnya, tentu kepala saya tidak akan berkembang seperti payung parasut yang berfungsi. Barangkali kalau pun tetap menjadi payung parasut tetapi bentuknya tetap mengatup, lalu menggumpal dan jadi pedang yang terhunus. Lalu siap menebas apa pun yang saya lihat, termasuk wajah Bu Nunik yang cantik itu.

Bu Nunik, adalah guru cinta buat para siswanya. Beliau memperlakukan siapa pun sama. Maksud saya kalau ada siswa lain yang melakukan kesalahan, standarnya sama seperti ketika memanggil saya dan membuat siapa pun langsung bertekuk lutut di sampingnya. Beliau dalam hal ini dengan sangat cerdas menyodorkan realita. Sederhanannya adalah mendorong para siswanya untuk menyadari bahwa sukses itu harus dibarengi strategi dan menghindari kesalahan yang bersumber dari pengabaian tugas atau kemalasan. Ini adalah bagian dari satu poin dari berbagai poin strategi tersebut.
Bu Nunik yang lembut dan cantik ini pulalah yang juga mampu membuka kepala siswanya bagai parasut yang terkembang di kelasnya. Salah satu kejadiannya di suatu siang, beliau mengajarkan tentang realita tantangan hidup beberapa tahun ke depan bagi para siswanya. Beliau katakan, “Belajar mata pelajaran Ekonomi, bukan berarti Anda harus menjadi maestro ekonom. Pelajaran ini rasanya sudah cukup kalau menggugah Anda untuk membuat perencanaan hidupmu sendiri ke depan secara realistis. Kalau pun ada yang menjadi ahli ekonomi, itu anugerah yang patut kita syukuri bersama. Namun yang paling penting adalah Anda mampu menyiapkan diri menata hidup yang baik sejak sekarang”.

Saya masih ingat betul, saat itu semua mata siswa fokus pada beliau. Seuaranya lembut bahkan cenderung datar, tetapi informasi yang dipaparkan memang sangat menggugah. Beliau mulai dengan pertanyaan yang sangat sedederhana, tetapi buat saya dan teman-teman cukup mengejutkan. “Edi, kapan kamu akan menikah?” tentu saya terperangah karena saya belum pernah memikirkan hal itu. Teman-teman tertawa melihat saya yang hanya ternganga tak mampu menjawab, “Kelak berapa anak yang kamu rencanakan dari hasil penikahanmu?” 

Saya tetap ternganga, tak mampu menjawab. Teman-teman tambah terbahak-bahak. Namun mereka segera diam, karena Bu Nunik menatap saya begitu serius. Tidak ada tanda-tanda maksud melucu dari pertanyaannya. 

“Sepuluh tahun mendatang, usia kalian 26 atau 27 tahun. Itu adalah usia di mana pada umumnya menjadi usia pernikahan. Sepuluh tahun ke depan bukan waktu yang lama untuk sebuah rencana pernikahan. Persoalannya adalah, kalian belum menyiapkannnya dengan baik”. Mata Bu Nunik menyapu seluruh mata siswanya.

“Kalian harus punya visi hidup. Apa mimpi kalian dalam hidup ini?” Beliau lalu menggambarkan visi itu seumpama mimpi kita pergi Ke Jakarta.

“Kalian juga harus punya misi hidup untuk mencapai visi tersebut!” Beliau lalu menjelaskan misi itu seumpama rute perjalanan menuju Jakarta. Juga seumpama kendaraan yang dipilih untuk menuju Jakarta.

“Setelah punya keduanya, kalian harus punya tujuan yang pasti!” Beliau mengurai tentang tujuan ini begitu rinci. “Tujuan ini dapat dipertanyakan dengan kata kerja ‘Mau apa’ ke Jakarta? Mau melanjutkan studi atau mau bekerja?” pertanyaan-pertanyaan beliau sangat retoris, tetapi menggugah antusiasme siswa untuk fokus kepada beliau.

“Setelah kalian menetapkan tujuan hidup, kalian harus menetapkan target dalam hidupmu. Baiklah kita ambil contoh bahwa kalian visinya mau pergi ke Jakarta. Misinya menggunakan kereta. Tujuannya adalah untuk melanjutkan studi, maka target kalian harus dipastikan. Mau kuliah di mana? Maka kamu harus menetapkan tempat tinggal sebagai target pula”.

“Kalau target telah kalian tetapkan maka selanjutnya adalah membuat strategi. Nah, strategi adalah kunci sukses dalam upaya meraih visi, menjalankan misi, menuju tujuan, dan menggapai target yang telah kita tetapkan. Sebagai strategi, misal kalau kalian mau kuliah di UI tentu kalian harus belajar lebih keras, paling tidak menambah jam belajar kalian dan mengurangi jam main kalian. Mencari informasi tempat tinggal yang paling tepat bila diterima di UI”. Bu Nunik lalu memberikan tugas kepada kami untuk membuat visi, misi, tujuan, target, dan strategi sukses melanjutkan studi.

Seluruh siswa mengerjakannya dengan sangat serius. Setelah kami selesai, beberapa siswa diminta mempresentasikannya dan siswa yang lain diminta menangapi atau memberikan saran-saran. Kami sungguh sangat antusias karena yang dibahas adalah kepentingan kami, hidup kami ke depan.
Usai diskusi yang mengasyikan itu, Bu Nunik berdiri di depan kelas. Beliau memberikan informasi yang lebih membuka kepala kami seumpama payung parasut yang sedang dipakai terjun dari pesawat udara oleh atlet terjun payung.

Saat itu adalah tahun 1984, “Anak-anak sekarang ini, harga rumah yang ideal minimal 500 juta dicicil selama 10 tahun. Harga kendaraan yang ideal 150 juta dicicil selama 10 tahun. Biaya liburan per semester setiap keluarga kecil minimal 10 juta. Deposit biaya kesehatan 10 juta per tahun. Biaya bersosialisasi, seperti pergi ke penikahan, sunatan, berkunjung menjenguk orang sakit, melayani tetamu, dan sebagainya minimal 12 juta pertahun. Coba kalian akumulasi lalu bagi rata-rata per bulan berapa pengeluaran kalian?”

Yang dipaparkan dan dipertanyakan oleh Bu Nunik adalah sebuah realita hidup para siswanya. Inilah yang dibutuhkan oleh kami. Itu artinya pada saat kami berusia 27 tahun harus sudah bekerja di tempat yang baik dengan posisi yang baik pula. Ini kalau tidak mau menjadi pebisnis. Sebab kalau diterjemahkan dengan baik, apa yang disampaikan oleh Bu Nunik berarti kami saat bekerja harus memiliki penghasilan sepuluh juta per bulannya. Ini adalah persoalan serius buat kami.

Sebagai siswa inilah yang dibutuhkan oleh saya dan teman-teman saat itu. Hemat saya, seharusnya guru mata pelajaran Ekonomi mengajarkan hal-hal yang demikian. Pembelajaran mata pelajaran yang penting ini, semestinya tidak hanya berhenti pada rumus ekonomi semata atau hanya mengingat nama tokoh-tokoh ekonom semata. Namun justru menukik dalam pada pemahaman para siswanya untuk menyiapkan diri dalam kehidupan nyata beberapa tahun ke depan. Dengan demikian para siswa secara pengetahuan disiapkan betul untuk sukses dalam kehidupannya.

“Nah, anak-anak sebagai tugas silakan kalian buat perencanaan keuangan kalian ke depan dengan target hidup yang ideal secara mandiri. Kapan kalian bekerja? Bekerja dimana? Berapa gaji kalian per bulan? Ingin memiliki rumah di mana dengan tipe bangunan seperti apa? Apa kendaraan yang ingin kalian miliki? Ingat buat pula pengeluaran-pengeluaran lain di setiap bulannya! Andaikan kalian mau lanjut studi ke S2 dan S3 dimana studi tersebut? Berapa biayanya? Dan seterusnya. Selamat bekerja, pertemuan berikut kita diskusikan secara random!” Bu Guru cantik itu pun pamit dari kelas. Kami sangat puas dan merayakannya dengan tepuk tangan yang sangat meriah buat Bu Nunik.

Sebagai guru, Bu Nunik telah memotivasi para siswanya untuk mengejar mimpi hidupnya masing-masing dengan kerja keras tanpa akhir. Beliau dengan bersahaja membimbing para siswanya untuk meninggikan derajat hidupnya dengan cara memelihara cara berpikirnya. Inilah salah satu guru cinta saya saat di SMA dulu yang mengajari kami berpikir kritis. Sampai sekarang spirit ajarannya berumah begitu betah di tubuh saya, bahkan saya yakin juga di tubuh teman-teman saya. 

Bu Nunik adalah guru saya yang menggugurkan pandangan Purnomo dalam buku “Apa yang Berbeda dari Guru Hebat” (2011: 10). Menurutnya, “Yang kadang kita lupa adalah di sekeliling kita, guru tanpa sadar membangun benteng-benteng yang tebal dan super kokoh, yang nyaris tak terjangkau oleh para siswa. ketemu hampir tiap hari, tapi sepertinya jauh sekali, nyaris tak terjangkau”.

Namun demikian, Indonesia tidak hanya membutuhkan satu guru seperti Bu Nunik, melainkan butuh jutaan. Semoga buku SC ini menginpirasi jutaan guru untuk menjadi guru cinta. Guru yang mudah dijangkau oleh siswanya untuk membuka cakrawala dan mengokohkan karakter mereka. Guru yang mengantarkan siswanya mengantungkan cita-citanya setinggi langit bukan setinggi bintang.
Tentang cita-cita ini saya sepandangan dengan Hamdan Juhanis, penulis buku “Melawan Takdir”. “Lebih baik kita menggantungkan cita-cita setinggi langit jangan hanya sekadar setinggi bintang. Lantaran kalau kita jatuh masih di antara bintang-bintang yang indah. Kalau kita menggantungkan cita-cita hanya setinggi bintang andai jatuh akan terasa sakitnya karena langsung terjerembab ke bumi”.

Selasa, 02 Februari 2016

INI YANG LAMA DINANTI; KMGP FILM KELUARGA YANG RENYAH DAN BERMUTU

Setelah membaca kisah Ketika Mas Gagah Pergi sekitar 20 tahun lalu, saya memang menunggu film yang diangkat dari karya Helvy Tiana Rosa ini. Bukan saja karena kisah ini telah berhasil mengubah pandangan dan sikap saya terhadap Islam, atau karena proses produksinya unik yang melibatkan kegiatan"patungan bikin film" dari para pembacanya, namun saya juga ingin sekali menemukan visualisasi atas sosok Mas Gagah, Gita, pun Yudi dalam film ini.

KMGP berkisah tentang pemuda dari keluarga kelas menengah muslim yang sangat sayang pada ibu dan adiknya yang manja dan tomboy (Gita). Gita bangga pada Gagah karena abangnya tersebut tampan, cerdas, mandiri dan sangat modern. Suatu ketika Gagah pergi ke Ternate untuk penelitian skripsinya. Alangkah terkejut Gita karena sepulang dari Ternate, Gagah berubah drastis. Gagah mendalami Islam dengan serius, namun dalam interaksinya kemudian hal itu memuculkan banyak friksi dengan Gita, juga Mama. Muncul pula tokoh Yudi ‘Fisabilillah’ yang sering dijumpai Gita di bus dan di jalan raya. Sosok ini tanpa beban, tanpa harapkan imbalan, setia melakukan dakwah on the street, namun bagi Gita ia adalah ‘musuh’ sebagaimana Mas Gagah. Lalu ada tiga sekawan ‘Preman Insyaf’ yang kocak (Urip, Asep dan Maxi) yang bersama Gagah membangun ‘Rumah Cinta’ untuk anak-anak dhuafa dan memberdayakan masyarakat di sana.

Sekitar 95 menit saya terperangah menonton film ini. Ada banyak kelebihan film KMGP dibandingkan film-film umum atau bahkan film-film bernuansa Islam lainnya. Kelebihan pertama adalah soal alur. Alur film KMGP tidak linear melainkan disusun dengan cerdas. Sebagai penonton kita harus berpikir, cermat mengikutinya. Kisah dimulai dengan sosok Mas Gagah di Ternate. Saat ia memotret di atas batu karang di daerah Batu Angus, ia terpeleset dan jatuh tenggelam. Ini mengingatkan saya pada opening film Gladiator-nya Russel Crowe, dimana cerita kemudian ditarik flash back. Mulai dari masa kecil Gagah dan Gita, hingga kedekatan mereka di masa remaja. Pengaluran yang dinamis dan segar. Alur peristiwa dari satu scene ke scene yang lain terasa unpredictable meski saya sebagai pembaca setia novelletnya hapal dengan semua alur kisahnya. Disinilah kepiawaian Fredy Aryanto sebagai penulis skenario layak diacungkan jempol. Ia membuat skenario yang setia dengan nyawa novellet namun memberi kesegaran baru juga kekinian.
Kelebihan berikutnya terletak pada sinematografi. Gambar-gambar cantik dengan eksplorasi estetik yang mampu mendeskripsikan gejolak perasaan para tokoh adalah salah satu ciri Nur hidayat (Monod). Di tangan Monod yang menjadi ‘cantik’ bukan hanya Ternate atau Jakarta, tetapi juga kekumuhan Muara Angke, lokasi “Rumah Cinta’ (rumah singgah anak-anak dhuafa yang dikelola 3 preman insyaf). Monod memotret Muara Angke dari berbagai sisi, juga udara, membandingkan lokasi pemukiman padat tersebut dengan gedung-gedung pencakar langit di seberangnya. Kontras yang menggigit.

Akting para pemeran juga patut diacungkan jempol. Aquino Umar, misalnya, memainkan sosok Gita (adik Mas Gagah) seakan-akan tidak sedang akting. Sangat natural# Saya sudah membayangkan bila KMGP ini jadi film 10 tahun lalu, maka Nirina Zubir adalah sosok yang sangat cocok untuk peran ini, namun kehadiran dan kecemerlangan Aquino bisa membuat saya ‘melupakan’ Nirina. Aquino akan menjadi the rising star dalam industri film Indonesia masa depan! Hamas Syahid memerankan sosok Mas Gagah dengan sangat baik. Mungkin karena Hamas juga ditempa dalam karantina selama 3 bulan yang menghadirkan tokoh teater/film Otig Pakis sebagai pelatih akting.

Meski tampil di adegan awal dengan agak canggung, Masaji yang berperan sebagai Yudi sangat mencuri perhatian, terutama karena ketampanan dan gesturnya. Yudi adalah pemuda misterius yang sering dijumpai Gita di jalanan, terutama di angkutan umum dan melakukan ‘dakwah on the street’ tanpa beban. Setelah 2 scenes pembukaan kehadirannya yang agak ‘berat’, pada adegan-adegan selanjutnya Masaji memerankan tokoh unik ini dengan cukup baik.

Untuk akting pemain pendukung lain tak perlu diragukan. Wulan Guritno sebagai Ibu Mas Gagah dan Mathias Muchus sebagai Ayah Yudi, tampil cemerlang. Trio “preman insyaf” Bang Urip (Epy Kusnandar), Maxi (Abdur Arsyad) dan Kang Asep Codet (Muhammad Bagya) menambah kesegaran film ini. Tokoh Tika (Meta Rizki Nurmala) sahabat 'nongki-nongki chanci' nya Gita yang sangat gaul juga mencuri perhatian penonton. Di luar itu ada 30 bintang terkenal yang turut meramaikan film ini antara lain: Ali Syakieb, Mentari De Marelle, Joshua Suherman, Virzha Idol, Miller Khan, Arbani Yasiz, Elovii, Rendy Martin, Nungki Kusumastuti, dan masih banyak lagi.

Kelebihan lain dari film ini juga terletak pada musik yang digarap Dwiki Dharmawan. Orkestrasi yang konon dikerjakan di Praha ini benar-benar mampu membawa penonton larut dalam tiap adegan. Theme song film ini: “Rabbana” dibawakan dengan sangat indah oleh Indah Nevertari.
Setelah melihat nama-nama pendukung film KMGP, tak heran bila film ini secara keseluruhan sangat apik. Ya, meski film ini merupakan debut sutradara Firman Syah, namun didukung kru yang hampir semuanya pernah memenangkan piala citra. Sebut saja Monod, Rizal Basri, Adi Molana, Khikmawan, dll.

Biasanya film yang diangkat dari karya sastra, banyak yang mengecewakan saat difilmkan, namun KMGP menjadi pengecualian. Meski ada beberapa adegan yang tidak sama dengan di buku, namun ‘ruh’ bukunya sungguh terasa.

Beberapa perbedaan itu antara lain: setting Madura di buku diubah menjadi Ternate. Lalu tokoh Yudi dan Gagah yang tidak bertemu dalam satu masa di buku, dalam film berada di satu masa. Bila di buku Gita berjumpa Yudi saat ia sudah mengenakan jilbab, maka di film masa itu ditarik mundur saat Gita sedang menghadapi konflik berkepanjangan dengan Gagah. Dalam buku tidak dijelaskan asal usul Yudi secara detil, namun di film dijelaskan orangtua dan latar belakang Yudi. Menariknya, pengenalan Gita terhadap Yudi sebagai “Abdullah” versi buku, di versi film menjadi “Fisabilillah.” Kita tertawa saat Gita menyebut Yudi dengan “Mas Fisabilillah”.

Saya kira keberadaan Helvy Tiana Rosa sang penulis buku KMGP yang terjun langsung menjadi produser film KMGP turut menentukan perubahan-perubahan ini pula, terutama dalam menyampaikan misi bahwa “Islam itu indah, Islam itu cinta, Islam itu gagah.”

Secara keseluruhan film ini cocok untuk semua umur, terutama bagi para remaja. KMGP menarik, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kekeluargaan dengan ‘renyah’ sambil kita tertawa-tawa dan terharu, sesuatu yang jarang diangkat dalam film-film kita.

Ia juga menjadi sangat kontekstual di tengah kecurigaan atau sikap islamophobia dunia terhadap keberadaan para aktivis ge
rakan Islam, sebagaimana Gita yang sempat mengira abang yang ia sayangi itu berubah mungkin karena mengikuti aliran sesat atau menjadi korban radikalisme. Ya pada akhirnya, KMGP merupakan film yang menggugah kesadaran kita tentang arti sebuah perubahan, sebuah revolusi mental, dan bagaimana kita harus saling menghargai perbedaan. Seperti kata Tika: “Berbeda itu kece.” Atau seperti yang disampaikan Gagah: “Jika kita tidak menyetujui suatu kebaikan yang mungkin belum bisa kita pahami, kita bisa coba untuk menghargainya.”

Film produksi IndoBroadcast bekerjasama dengan Aksi Cepat Tanggap ini telah ditunggu selama lebih dari 20 tahun oleh para pembacanya yang turut “patungan” untuk kehadiran film ini. Helvy berkomitmen menyumbangkan 50% keuntungan film untuk dana kemanusiaan. Di luar itu bila tercapai 1 juta penonton, akan ditambah lagi 1 Milyar untuk pendidikan anak-anak di Indonesia Timur dan 1 Milyar lagi untuk pendidikan anak-anak Palestina.

Mari kita dukung film bermutu ini dengan menyaksikannya segera di bioskop. Saya dengar kabar KMGP 2 akan segera tayang juga, jadi jangan sampai terlewat. Dari rentang skor 1 sampai 10, saya beri 9 untuk film ini.

Edi Sutarto 
Penulis dan Direktur Sekolah Islam Athirah)